
Zaman dahulu bangsa Sumeria mengenalkan Narkoba dengan istilah Candu. Candu digunakan sebagai sarana pengobatan, terutama dalam pembedahan. Pada tahun 1805 mulai dikenal morfin menggantikan opium. Para ahli menggunakannya untuk meredakan rasa sakit dan bius. Penggunaan candu yang berlebihan akan menyebabkan ketagihan dan sesak. Oleh karena itu orang-orang Eropa pada masa itu menyebut barang tersebut sebagai barang setan. Namun setelah Ratu Elizabeth I menyadari pentingnya opium sebagai obat bius medis. Barulah para bangsa dari timur membawa opium ke negaranya.
Pada tahun 1617 masa penjajahan Belanda di Indonesia, opium telah dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa dan juga pribumi dipulau Jawa. Sepanjang abad 17 dan 18 VOC (Vereemigde Oost-Indische Compagnie) memonopoli penjualan opium. Pada tahun 1862 perusahaan tersebut secara resmi membuka perkebunan opium di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1969 penyalahgunaan narkotika mulai dideteksi tumbuh dan berkembang menjadi sebuah masalah sosial Indonesia. Penyebaran wilayah penyalahgunaan narkoba di Indoensia, telah merambah luas baik di lingkungan pendidikan, lingkungan kerja dan lingkungan pemukiman di perdesaan dan di perkotaan.
Pada tahun 2019 terjadi peningkatan sebesar 0,03% (Sumber: BNN RI). Peningkatan penyalahgunaan narkotika jenis baru yang tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Permenkes No. 13 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Referensi :
Reza Ardila. 2009. “Sejarah Narkoba di Indonesia”. Universitas Indonesia. Jakarta
Mulyana W. Kusumah. 1988. “Kejahatan dan Penyimpangan”. Yayasan LBH. Jakarta