
Daun kratom kini menjadi perbincangan karena tanaman herbal asal Kalimantan ini disebut-sebut memiliki kandungan narkotika. Padahal sebelumnya daun kratom ini telah diekspor ke luar negeri dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Pada tahun 2013, UNODC, lembaga PBB yang menangani permasalahan narkoba, telah memasukan kratom ke dalam NPS kategori Plant-based Substances.
NPS adalah jenis zat psikoaktif baru yang ditemukan namun regulasinya belum jelas atau masih dalam proses. Dengan masuknya kratom ke dalam salah satu jenis NPS, maka penanganan penyalahgunaan kratom perlu menjadi perhatian.
Kandungan utama kratom adalah mitraginin. Adanya gugus hidroksil pada C-7 meningkatkan potensi analgetik 7-hidroksimitraginin sekitar 13 kali lebih tinggi dari morfin dan 46 kali lebih tinggi dari mitraginin baik secara in vitro maupun in vivo
BNN RI juga telah menetapkan kratom sebagai NPS di Indonesia dan merekomendasikan kratom untuk dimasukkan ke dalam narkotika golongan I dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Penggolongan ini didasarkan pada efek kratom yang berpotensi menimbulkan ketergantungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan. BNN sendiri mengemukakan bahwa efek kratom 13 kali lebih berbahaya dari morfin.
Beberapa negara telah membuat regulasi tentang penggunaan kratom dengan tujuan untuk mencegah penyalahgunaannya.
Efek yang ditimbulkan dalam dosis kecil bersifat stimulan memberikan efek menenangkan dan nafsu makan, tetapi kalau dikonsumsi dalam jumlah besar maka itu membahayakan, bahkan jika digabungkan dengan obat lain bisa berdampak pada kematian