
Ganja merupakan salah satu jenis narkoba yang paling banyak digunakan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan obat-obatan terlarang jenis lain, efek ganja memang dianggap paling jinak dan memiliki risiko kesehatan paling kecil. Walupun keberadaan ganja telah dilarang di Indonesia, namun belakangan ini muncul varian baru dari ganja, yaitu ganja sintetis yang sempat populer di kalangan masyarakat. Efek ganja sintetis ini jauh lebih berbahaya daripada lintingan ganja tradisional dan bahkan sudah terbukti mematikan. Meski memiliki nama yang sama, ganja sintetis bukanlah ganja. Ganja sintetis adalah campuran bahan kimia industri yang disemprotkan pada daun kering dan potongan rumput biasa, dibungkus sedemikian rupa dan dijual dengan berbagai nama samaran. Ganja sintetis beredar secara legal di beberapa negara dengan merek dagang, seperti: Spice, K2, No More Mr Nice Guy, dan lain-lain. Ganja sintetis sangat berbeda dengan ganja yang sebenarnya. Ganja sintetis mengandung bahan kimia yang disebut cannabimimetics yang dapat mengakibatkan efek berbahaya bagi kesehatan dan sangat beresiko untuk disalahgunakan. Seperti kebanyakan obat-obatan terlarang lainnya, ganja sintetis tidak diuji keamanannya. Pengguna tidak tahu persis bahan-bahan apa saja yang diracik di dalamnya. Bahan-bahan kimia yang terkandung dalam ganja kekinian ini bekerja mirip THC, senyawa psikoaktif alami yang ditemukan dalam tanaman ganja. Baik THC maupun senyawa kimia sintetik mengikat pada sistem reseptor CB1 di otak untuk menghasilkan efek euforia (sensasi bahagia amat sangat). Akan tetapi ganja sintetis memiliki daya rusak yang lebih membahayakan dari ganja asli yang berusaha ditirunya. Efek yang ditimbulkan, seperti: muntah-muntah, nyeri dada, pusing, peningkatan denyut jantung, penglihatan menghitam, sakit kepala, kerusakan ginjal, ngilu, kebingungan, pembesaran pupil, kejang, gerakan anggota tubuh involunter (kedutan), turunnya kadar kalium dalam darah, serta meningkatnya glukosa. Dan ganja sintetis termasuk dalam kelompok obat yang disebut “zat psikoaktif baru” yang tergolong ke dalam kategori narkotika golongan I (satu). Narkoba yang berada dalam golongan ini hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan IPTEK, di luar kepentingan itu termasuk dalam tindakan kriminal. Dan ketentuannya sudah di atur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis Narkotika Golongan I (satu). Salah satu contoh atau nama lain dari ganja sintetis ini adalah tembakau gorila.
Tembakau gorila adalah ramuan herbal atau tembakau yang disemprotkan dengan sejenis bahan kimia sintetis yang hasilnya menyerupai efek psikoaktif dari ganja (cannabis). Cara penggunaan tembakau gorila sama seperti orang merokok, untuk kemasan dibungkus seperti kemasan teh. Efek yang ditimbulkan dari pengguna tembakau gorila, seperti: perubahan perilaku (cepat marah, mengamuk), halusinasi, perasaan tenang, badan terasa kaku dan terbatas seperti sedang ditimpa gorila. Dalam beberapa kasus, efeknya bisa menyebabkan stroke, darah tinggi, sesak napas, gagal jantung akut, serangan jantung, atau bahkan kematian.
Apabila sudah lama mengkonsumsi tembakau gorila ini, penggunanya juga dapat merasakan efek putus obat (withdrawal) berupa cemas, penurunan nafsu makan, depresi, sakit kepala, mudah emosi, tremor/ gemetar terutama tangan, mimpi buruk, berkeringat berlebih, gangguan tidur, dan mual. Sama seperti mengatasi kecanduan obat-obatan terlarang lainnya, pada prinsipnya untuk mengatasi kecanduan tembakau gorila diperlukan hal-hal berikut ini, diantaranya adalah berhenti menggunakan tembakau gorila, berusaha agar tidak menggunakan kembali setelah berhasil berhenti, menjauhi lingkungan yang negatif (lingkungan pengguna dan pengedar tembakau gorila), perbanyak aktivitas yang positif dan produktif.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait pengertian dan efek yang ditimbulkan dari tembakau gorila, maka untuk mengatasi kecanduan dan kemungkinan terjadinya efek putus obat yang dapat terjadi, maka disarankan pengguna dan penyalahguna dari tembakau gorila ini untuk mengikuti program rehabilitasi kecanduannya ke Bidang Rehabilitasi BNN atau ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) setempat, dimana para pengguna tersebut dapat memperoleh beberapa langkah untuk mencegah dan mengatasi kecanduan, diantaranya adalah : proses detoksifikasi, yaitu proses untuk mengeluarkan sisa-sisa obat dari dalam tubuh, konseling sikap dan perilaku, pemberian obat-obatan untuk membantu mengatasi efek putus obat, serta evaluasi dan terapi gangguan kejiwaan yang dapat muncul misalnya depresi dan gangguan cemas, serta mencegah penggunaan obat kembali dengan monitoring jangka panjang. Semoga dengan dijalankan program rehabilitasi yang intensif dan berkesinambungan para pengguna dapat segera pulih dari efek yang ditimbulkan dan diharapkan agar para pengguna tidak terjerumus kembali ke lingkungan negatif dimana lingkungan yang menjerumuskan seseorang menjadi pengguna dan pengedar barang haram tersebut.